Sejarah Pasar

SEJARAH PASAR TRADISIONAL

 

Pasar Tradisional merupakan tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar-menawar.

Sebagai kota yang mengandalkan sektor perdagangan, keberadaan pasar rakyat merupakan hal yang tidak mugkin ditinggalkan. Pasar rakyat bahkan menjamur di Kota Surakarta. Tercatat, ada 44 pasar tradisional yang sampai sekarang ini tetap hidup dan lestari dengan menampung lebih dari ribuan pedagang.

Ke-44 pasara tradisional yang ada di Kota Solo pada dasarnya menyajikan hampir semua kebutuhan sehari-hari masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, terdapat semacam “kesepakatan” antara penjual dan pembeli sesuai hukum pasar yang berlaku yang kemudian menyebabkan sejumlah pasar memiliki kekhasan jenis dagangannya.

Pasar Tradisional Unggulan Kota Solo

GEDE
PASAR GEDE HARJONAGORO

Lokasi                     : Jalan Urip Sumoharjo

Akses                      : Transportasi umum Batik Solo Trans (BST)

Keistimewaan         : Pasar tertua yang memiliki bangunan berarsitektural langka

Pasar Gede Harjonagoro merupakan pasar tertua di Kota Solo. Usianya setua dengan Kraton Kasunan Surakarta menempati Desa Sala sebagai ibukota kerajaan pada tahun 1745. Hal itu tidak lepas dari konsep kosmologi Jawa yakni Catur Gatra Tunggal. Catur Gatra Tunggal sebagai konsep tata ruang membagi empat ruang tetapi tetap dalam satu kesatuan. Kraton sebagai poros adalah simbol kekuasaan raja, kemudian alun-alun sebagai pusat ritual dan tradisi masyarakat, masjid sebagai pusat peribadatan dan pasar sebagai pusat perdagangan yang merupakan dinamika perekonomian.

Dalam konsep budaya Mataraman pasar juga menjadi sebagai simbol matahari terbit atau kegiatan pagi yang harus ada di sebelah timur keraton. Pasar sbagai kebalikan dari masjid yang menjadi merupakan simbol matahari terbenam sehingga harus ada di sebelah barat keraton. Dalam konsep ini, keraton berada di antara keduanya dan menjadi poros. Dengan konteks tersebut, keberadaan atau aktivitas ekonomi Pasar Gede dipastikan sudah ada jauh lebih mendahului daripada fisiknya yang baru diresmikan pada tahun 1930. Dahulu kala Pasar Gede merupakan sebuah pasar kecil yang didirikan di area seluas 10.421 hektar. Diberi nama Pasar Gede karena terdiri dari atap yang besar. Catatan sejarah menyebutkan bangunan permanen Pasar Gede yang ada seperti sekarang ini baru ada dibangun pada tahun 1927. Paku Buwana X meminta arsitek kenamaan asal Belanda, Thomas Karsten membuat desain dan membuat bangunnya.

Pembangunan berlangsung selama tiga tahun. Karsten menggabungkan gaya Jawa dan gaya kolonial sebagai bentuk baru arsitektural bangunan pasar ini yang terdiri dari dua bangunan yang terpisah dan masingmasing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana. Di atas pintu masuk utama Pasar Gede dengan gaya tulisan Art Nouveau. Lantai untuk masuk berwujud ramp. Setelah hall masuk, terdapat ruang terbuka, kemudian ruang-ruang los pasar membujur ke utara dan timur. Biaya pembangunannya mencapai 650.000 gulden. Pada tanggal 12 Januari 1930, Paku Buwana X dan permaisuri GKR. Hemas meresmikan selesainya pembangunan pasar tersebut.  Bentuk dan ciri khas bangunan karya Karsten itu hingga kini dipertahankan meski pasar tersebut berulangkali direnovasi. Pasar itu pernah terbakar pada tahun 1948 dan selesai dibangun kembali tahun 1954. Begitu juga ketika pada tahun 2000 habis terbakar, pembangunan kembali Pasar Gede disesuaikan dengan keasliannya berikut bahan-bahan yang dipergunakan. Pasar merupakan salah masterpiece Thomas Karsten. Dibangun bangunan tingkat dua sehingga menjadi salah satu bangunan tertinggi kala itu. Tingginya bangunan bukan hanya sekadar agar bisa menampung banyak pedagang berdasarkan perhitungan fungsional arsitektural untuk menempatkan dagangan daging dan ikan di los lantai dua karena lalat tidak akan mampu terbang tinggi. Selain itu sirkulasi udara diperhitungkan detail agar dijubeli pedagang dan pembeli,  Pasar tetap Sejuk. Lantai pasar ini juga dibuat lebih tinggi dari lorong jalan agar kuli panggul dapat menurunkan dan mengangkat barang-barang berat secara ergonomik. Pada perjalanannya, perkembangan Pasar Gede tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan komunitas Pecinan yang banyak bermukim di Kampung Balong, Sudiroprajan. Tak mengherankan jika di dekat Pasar Gede, terdapat Klenteng Tien Kok Sie yang digunakan penganut Khong Hucu untuk beribadat.

Pasar Gede menjadi pasar tradisional termegah di zamannya dan kemegahan tersebut tetap terjaga hingga kini. Desainnya yang menyatukan arsitektur kolonial yang memiliki ciri berdinding tebal dengan memiliki kolong besar dan unsur lokal sangat menyolok dan terasa eksotis di tengah menjamurnya bangunan modern yang mengabaikan kearifan lokal. Pasar Gede pun menjadi benda cagar budaya kategori A yang sama sekali tidak boleh diubah.

Pasar Gede menempati areal seluas 6.951 meter persegi di tepi Jalan Urip Sumoharjo atau hanya beberapa meter di depan Balaikota Solo. Selain berlantai dua, Pasar Gede juga terbelah menjadi dua, yakni di sisi timur Jalan Urip Sumoharjo dan di sebelah baratnya. Pedagang yang memiliki kios atau los di sebelah barat menawarkan dagangan berupa buahbuahan dan ikan hias. Sedangkan di bagian timur, menyediakan dagangan berupa kebutuhan sehari-hari. Barang dagangan yang dijual di pasar ini dibuat berkelompok sesuai komoditasnya masing-masih sehingga pengunjung pun dimudahkan saat mencari barang yang diperlukan. Hampir seribuan pedagang yang berjualan di pasar ini. Selain menjual barang kebutuhan sehari-hari, Di Pasar Gede juga banyak pedagang berbagai macam makanan tradisional yang jarang ada di tempat atau daerah lain. Tidak hanya itu, di Pasar Gede juga akan ditemui jejak kuliner tradisional. Es dawet telasih atau jajanan pasar mulai dari cenil, klepon, grontol yang terbuat dari jagung, tiwul,  sawut, utri, gatot,lopis dan sebagainya. Belum Iagi makanan lain seperti cabuk rambak, pecel ndeso atau sare kerejuga ada di pasar ini.

Suasana kekeluargaan di pasar ini sangat terasa. Setiap calon pembeli disambut    hangat dengan sapaan yang tak semata hanya menawarkan barang dagangan tetapi juga keramahan. Di dalam pasar, selain los dan kios yang digunakan untuk berjualan, juga terdapat ruang publik yang sering dimanfaatkan sebagai “venue” pertunjukkan kesenian seperti tari, teater dan pertunjukkan musik.