Ilustrasi Pasar Legi Solo (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos) buruh gendong pasar legi

Keseimbangan Ekonomi dan Religi
Pasar Legi Solo dibangun kali pertama oleh Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, yang juga penguasa pertama Praja Mangkunegaran, KGPAA Mangkunagoro (MN) I, di era 1750-an.
“Selepas dinobatkan menjadi Mangkunegara I (MN I) dan diberi wilayah kekuasaan, hal pertama yang dikerjakan RM Said ialah mendirikan pasar serta masjid,” terang sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, dalam artikel berjudul “Menyelamatkan Pasar Legi” yang dimuat di Harian Umum Solopos, 31 Oktober 2018 lalu.
Pasar dan masjid, lanjut Heri, menjadi wujud keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan religi. Pendirian pasar itu disambut gembira oleh warga saat itu yang mayoritas petani. Mereka mendapat ruang untuk memasarkan hasil bercocok tanam mereka.
Apalagi, saat itu dengan tujuan menarik banyak pedagang dan meramaikan pasar tersebut, MN I bersiasat membebaskan pajak perdagangan. Setiap hari pasaran Legi, pedagang dari berbagai daerah seperti Kartasura, Boyolali, Wonogiri, Karanganyar, Klaten, Sragen, hingga Walikukun (Ngawi) menempuh perjalanan jauh ke Pasar Legi Solo.
Mulai periode 1870-an, rombongan dari Ngawi dan Klaten bisa memanfaatkan sarana kereta api kelas tiga, lalu turun di Stasiun Balapan,” jelas Heri. Sisanya yang tidak terjangkau rel KA naik cikar, gerobak, atau andong membawa hasil panen untuk dijual.

Pasar Totogan Digabung
Kondisi itu bertahan sampai era MN VII (1916-1944). Dalam koran Darmo Kondo yang ditemukan Heri di Perpustakaan Nasional disebutkan saat itu Pasar Legi tambah gayeng setelah MN VII menggabungkan Pasar Totogan ke utara.
Pasar Totogan semula berada di sisi selatan Sungai Pepe untuk melayani kebutuhan masyarakat di wilayah itu. Saat itu, Pasar Legi masih berupa barisan pedagang membuka dasaran di tanah beralas karung dan daun.
“Kenyataan ini memunculkan istilah pedagang oprokan. Ada pula yang menjajakan daganganya berpayung gubuk. Belum ada dinding (tembok). Pasar terkena lindhu dan mengalami kerusakan,” jelas Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Baru pada 1936, Pasar Legi Solo dibangun menjadi pasar permanen dengan tembok berwarna putih. Pertokoan di bagian muka pasar yang semula berbahan kayu diganti bahan beton sedangkan tinggi rendah serta luas bangunan juga disamakan agar sedap dipandang.
Penataan tidak berhenti di situ. Selokan pembuangan air diperbarui. Halaman terbuat dari aspal yang panas saat kena matahari diganti beton. Kenyamanan pedagang maupun pengunjung benar-benar dipikirkan oleh penguasa saat itu.
Menghapus Stigma Kotor dan Kumuh
Sementara itu, dikutip dari laman eprints.ums.ac.id tentang Redesain Pasar Legi Surakarta Bercitra Moderen, setelah renovasi semasa MN VII tahun 1936, Pasar Legi Solo baru direnovasi lagi pada 1992.
Bangunan pasar hasil renovasi itu bertahan selama 26 tahun hingga terbakar pada Oktober 2018 lalu dibangun kembali menjadi bangunan modern berlantai tiga yang baru diresmikan Kamis (20/1/2022). Bangunan tiga lantai itu menampung 321 pedagang kios, 2.218 pedagang los, dan 700 pedagang pelataran.
Dengan desain bangunan berkonsep hijau dan modern itu diharapkan bisa mengubah stigma pasar kumuh, kotor, dan sesak yang kerap melekat pada pasar tradisional. Seperti harapan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bahwa Pasar Legi tidak hanya menjadi pasar induk yang bersih, nyaman, tertata, tidak kumuh, tapi juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Tidak hanya untuk ekonomi Solo tapi juga Soloraya. “Apalagi sekarang Pasar Legi sudah menerapkan sistem pembayaran nontunai sehingga lebih efisien,” katanya saat peresmian.

Sumber : Solopos.com – Suharsih